Tags
agraria, enclave, jawa, kraton, sitidusun, sultanground, sunanground
Beberapa waktu lalu di laman “fb” ada kawan yang bertanya soal perjanjian Giyanti tertanggal 13 Februari 1755 itu. Sebuah perjanjian yang secara umum oleh kawan-kawan menandai pembagian wilayah Surakarta dan Yogyakarta, “sigar sěmangka” .
Sebagian kawan, bahkan yang notabene pernah menjadi sarjana sejarah dengan kajian Mataram Islam pun suka sekali dengan simplifikasi, “bahwa seolah-olah, pasca perjanjian Giyanti, pembagian wilayah sudah selesai”. Padahal, setelah Giyanti ada rentetan perjanjian demi perjanjian yang mengatur peralihan, perubahan, penyatuan, pertukaran, pembelahan, pengaturan wilayah-wilayah itu. Kompleks.
Tentu saya bukan orang yang pertama kali menentang arus simplifikasi ini, ada deretan nama-nama besar peneliti sejarah yang juga menyarankan menelaah secara komprehensif soal pembagian wilayah yang kemudian menjadi Catur Sagotra itu.
Salah satu perjanjian yang wajib digaungkan lagi dalam metanarasi sejarah kita adalah perjanjian Semarang 1773. Paling tidak, sejak perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Salatiga 1757, perjanjian Semarang ini menjadi awal baru berjalannya kedua Keraton dan satu kadipaten Mardika ini. Kedua raja, melalui patih-patihnya bersepakat atas wilayahnya masing-masing. Tentu perjanjian ini akan diperbarui dengan perjanjian-perjanjian yang lain (kapan-kapan deh ceritanya). Sampai paling tidak pada 27 November 1940, status “zeelfbesturs” diberikan kepada Catur Sagotra pasca Belanda diduduki Jerman. Masa-masa Jepang, Kemerdekaan, hingga lahirnya UUPA tahun 1960, urusan tanah-tanah kedua wilayah itu masih menyisakan persoalan yang harus disikapi dengan bijak.
Barangkali demikianlah sumbangan ilmu Filologi yang sering dianggap usang, tak berkemajuan. Nyatanya memang jalan sunyi ini seperti “timun wungkuk, jaga imbuh”, harus ada pada urusan-urusan krusial negeri ini.