Fabel adalah cerita yang menceritakan kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia.
Cerita binatang atau sering disebut fabel telah lahir dari jaman ke jaman hingga tetap berkembang sampai sekarang. Di Jawa , terdapat beberapa cerita fabel yang digunakan untuk bahan ajar yang dikemas dari jaman ke jaman. Di bawah ini merupakan sedikit gambaran tentang adanya transformasi kemasan fabel di Jawa.
Pañcatantra
Pañcatantra adalah sebuah karya sastra dunia yang berasal dari Kashmir, India dan ditulis pada abad-abad pertama Masehi.
Pañcatantra ini mengisahkan seorang brahmana bernama Wisnusarma yang mengajari tiga pangeran dungu putra prabu Amarasakti mengenai kebijaksanaan duniawi dan kehidupan, atau secara lebih spesifik disebut ilmu politik atau ilmu ketatanegaraan. Ilmu pelajarannya terdiri atas lima buku, itulah sebabnya disebut Pañcatantra yang secara harafiah berarti “lima ajaran”. Lima bagian ini merupakan lima aspek yang berbeda dari ajaran sang brahmana ini. Bagian-bagian tersebut di dalam buku bahasa Sanskerta yang berjudulkan Tantrakhyāyika dan dianggap sebagai redaksi Pañcatantra yang tertua, adalah sebagai berikut:
Mitrabheda (Perbedaan Teman-Teman)
Mitraprāpti (Datangnya Teman-Teman)
Kākolūkīya (Peperangan dan Perdamaian)
Labdhanāśa (Kehilangan Keberuntungan)
Aparīkṣitakāritwa (Tindakan yang Tergesa-Gesa )
Karya sastra ini kemudian diadopsi di jawa kuna menjadi Tantri Kamandaka kawi.
Tantri Kamandaka kawi
Tantri Kamandaka kawi mengisahkan Raja Eswaryapala (keturunan Raja Samudra Gupta) di Ke-rajaan Jambudipa setiap hari mengawini seorang putri, hingga tinggal seorang gadis, Dewi Tantri, anak Patih Niti Badeswarya. Dewi Tantri rela dikawini Raja asal diizinkan bercerita. Cerita itu sambung-menyambung, indah, dan mengandung kebijaksanaan, sehingga raja terpengaruh dan memutuskan tidak akan menikah lagi.
Serat Wulangreh
Lalu begeser pada jaman jawa baru utamanya pada era Kepujanggan SUrakarta terdapat fabel yang disisipkan dalam ajaran Piwulang. Sebagai Contoh dalam serat Wulangreh yasan Dalem Pakubuwana IV. berikut petikannya :
Wulangreh ,Pupuh III Gambuh (bait 4 – 10)
04. Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang, kidang adigung pinasti, adiguna ula iku, telu pisan mati samyoh.
05. Si kidang umbagipun, angendelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angendelken gung ainggil, ula ngendelaken iku, mandine kalamun nyakot.
06. Iku upamanipun, aja ngendelaken sira iku, suteng Nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digung, ing wasana dadi asor.
07. Ambek digang puniku, angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya purun, satemah dadi geguyon.
08.Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngatiati, den kawang-kawang barang laku, den waskitha solahing wong.
09.Dening tetelu iku, si kidang suka ing panitipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ing patinipun, ngedelken upase mandos.
10.Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang ngunggung, wekasane kajalomprong.
Secara bebas dapat di terjemahkan sebagai berikut :
(4) ada sebuah cerita tentang sosok yanng Adiguna adigang adigung; Kijang adalah adigang dan gajah adalah adigung; Adiguna adalah ular Ketiganya mati bersama (sampyuh).
(5) watak si kijang yang sombong dengan kecepatannya melompat. Sedangkan gajah mengandalkan tubuhnya yang tinggi besar. Kemudian ular dengan bisanya yang mematikan kalau ia menggigit.
(6) Sebagai contoh; Jangan mengandalkan bahwa kamu itu anak raja, ya siapa yang akan berani melawan . Itu adalah sifat adigung yang akhirnya justru merendahkan martabat.
(7) Adiguna adalah sifat mengandalkan kepandaian; Semua kepandaian seolah hanya miliknya sendiri.”Siapa pandai seperti saya” ndemikian ucapannya. tetapi akhirnya tidak bisa berbuat apapun
(8) Sifat adigang itu; mengandalkan keberaniannya (kasuranipun); Semua ditantang dan dicela Ternyata dia sendiri tidak becus; Akhirnya jadi bahan tertawaan
(9) Orang hidup itu; jangan memakai ketiga watak tersebut; Gunakan sikap sabar (rereh), kehalusan (ririh) dan hati-hati; perhatikanlah tingkah laku kita; Waspadalah dengan perilaku manusia
(10) ketiga hal tersebut; Si kijang mati karena terlalu bersenang-senang ; Si gajah karena lengah ; Sedang ajal ular; Karena mengandalkan bisanya yang sangat beracun.
dari terjemahan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penyajian dalam bentuk macapat juga memiliki andil yang besar untuk mencapai sebuah pemahaman tentang ajaran yang baik.
Glopa glape
Kemudian pada era kemerdekaan kemasan fabel makin kreatif salah satunya dikemas dalam lelagon Glopa-glape karya Ki Narto Sabdo.berikut petikannya :
Glopa-glape, glopa glape
Gajahe kepengin menek (eloke)
Ulane kepengin mabur (eloke)
Manuke kepengin nglangi
Eloke iki, eloke elok temen elok iki…
Kodhoke kepengin nyembur
Elok temen wah elok iki
Glopa-glape, glopa glape
Si Gajah pepes tlalene (eloke)
Si Ulo amber upase (eloke)
Si Manuk putung swiwine
Eloke iki eloke, elok temen elok iki
Si Kodhok bedhah wetenge
Elok temen wah elok iki
terjemahan bebas :
Tindakan yang kurang bersyukur akan anugrah Tuhan atau sering disebut “klewa-klewa” sering kali terjadi pada manusia di era modern ini. Cita-cita memang penting tetapi ambii yang berlebihan tentunyajuga kurang baik.
Dalam lagu ini kita dapat membuka pesan moral yang dimaksudkan pengarang. Diceritakan ada 4 hewan yangtidak menerima takdir hidupnya. Ada gajah yang ingin memanjat pohon, ada Ular yang ingin terbang, ada burung yang ingin berenang juga ada Katak yang ingin menyembur. Tetapi sekuat apapun tekat mereka berusaha untuk mengejar ambisi itu, akhirnya mereka mati karena ulahnya sendiri.
Sang Gajah patah hidungnya karena belajar memanjat, bisa ularpun juga menjadi tawar dan sia-sia, lalu Sang Burung patah sayapnya dan Sang Katak pecah perutnya. Nasib bisa diubah tetapi Takdir adalah garis ketetapan Tuhan yang punya otoritas tinggi. terima kasih semoga catatnnya bermanfaat 😀 rdr