Sudah pancawarsa lamanya kita mengembara dalam tapak masing-masing. Tentu sudah banyak cerita bukan? ya pasti banyak cerita yang mengiring. Di ujung tahun ini aku bertemu denganmu kembali.
Sejenak yang tercinta tentu terlupa oleh angan-angin. Rupanya benar kata-kata kaum bijak, “tidak ada orang yang benar-benar bisa melupakan setiap keping waktu dalam hidupnya”. Seperti panel-panel Karmavibhaṅga yang tertutup rapat di antara pondasi, aku mencoba mengenalimu kembali. Menghadirkan keping kenang yang abadi dalam kungkungan waktu.
Mengenalimu bukan hal yang mudah, gundah tanpa celah. Pertama-tama hanya keraguan yang mereguk-reguk datang. Selanjutnya deburan debar yang merong-rong bengong. Rasanya engkau hadir seperti makhluk asing dalam raga, tetapi ada bersanding dalam jiwa. Mungkin pembicaraan akan selalu dimulai dari curcol tolol. Malu-malu dalam sipu senyum, jatuhlah juga tatapanku dalam garis bibirmu, lentik idep, dan matamu yang masih tetap tajam. Dari berbagai bagian itu, bungkam bagiku. Engkau masih tetap saja samar-samar.
Hari-hari berikutnya ada rasa yang tumpah ruah. Aku merindukanmu. Tentu, ada orang yang diam-diam menyimpan rindunya, berfikir sejenak untuk diungkapkan, lalu kembali diurungkan. Raga ini ragu. Tubuh ini hanya terdiri dari rasa tabah karena aku makin tebih dari tubuhmu.
Di malam-malam bahagia, ketika Candi itu penuh nyala, aku mencoba menyalakan nyaliku bercakap denganmu kembali. Ada coret cerita berjenak-jenak, hingga kita benar-benar meninggalkan garis-garis waktu dan spasi. Cumbu-cumbuan tumbuh bagai liarnya tumbuh-tumbuhan. Kecap juga sama belepotan-nya ketika menyelinaplah kecupanmu yang bertubi. Aku kembali mencoba menemukanmu, mengenalimu.
Ujung malam pun datang, masih saja kita berada di ujung selimut.
Menahan kantuk, melawan suntuk, dan menjaga peluk.
Dalam diam dan tatapanmu, ada harap untuk kembali membaca kisahmu. Dalam diam dan tatap relief sunyi itu pula, aku belajar Gandawyuha.
Akankah kita berhenti mengembara? me-labuh-kan hati? Sukar rasanya. Labuh berarti tenggelam, sudah barang tentu tidak mudah menenggelamkan diri ke dalam batinmu, begitu juga sebaliknya. Aku ingin engkau tetap mengembara, seperti Sudhanakumara itu. Perjalanan panjangnya menjumpai para Budha, rohaniawan, Mahadewa, makhluk-halus, raja, hingga kaum nistha papeki. Berhentilah sejenak jika lelah kembaramu, pulanglah, selalu ada ruang untukmu. Lalu mari kita mengembara lagi, hingga datang Chattra itu.
Payung agung yang selalu kita rindukan. Aku merindukanmu.
Tak mau rampung aku menulis, tapi Kalawingka sudah bersiul saut-sautan. Mereka memanggilku, mengajakku terbang menyambut matahari. Barulah sadar dari ingin bersandar, aku masih menjadi bagian-bagian dari Jātaka, sekumpulan binatang yang dilahirkan berulang-ulang menuju akhir pengembaraan.
Berpendarlah, mengembaralah.
Seperti ucapku, aku menantimu ke dalam parahasyan arum.
Sala, Desember 2018.
05.01 AM